Headlines News :
Home » » JADI PENGUSAHA atau PEKERJA

JADI PENGUSAHA atau PEKERJA

Written By Unknown on Jumat, 23 Agustus 2013 | 02.38

Pilihan yang sulit bagi saya.....
Banyak motivator ‘specialis wira-usaha’ yang begitu pintar mengemas seminar, sehingga dipercaya oleh sebagian besar kaum muda (termasuk saya dahulu) bahwa, pegawai akan lebih sukses jika menjalankan usaha sendiri. Menjadi pengusaha. Faktanya? Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Usaha kecil bukan satu-satunya jalan, bahkan jika tidak melalui pertimbangan yang matang, bisa jadi lubang kuburan.

Tentu saja, alasan menunda untuk menjadi pengusaha bukan semata-mata karena ingin lebih banyak meluangkan waktu untuk nongkrong-nongkrong di basecamp, atau karena kucing kesayangan di rumah tidak ada yang merawat. Melainkan banyak hal lebih serius yang perlu dipertimbangkan—mulai dari kondisi keuangan, kemampuan menghasilkan barang/jasa yang mampu bersaing di pasar, hingga kesanggupan untuk menjalankan segala aktifitas usaha sendiri di awal-awal.
Bagaimanapun juga, setiap orang dengan mudah bisa menemukan banyak alasan untuk tidak menjadi pengusaha (mulai merintis usaha), semudah para motivator mencari alasan mengapa lebih baik melakukannya. Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk menggurui siapapun. Pertama, kita semua masih belajar. Kedua, saya lebih suka berbagi daripada mengajar. Juga tidak bermaksud mengatakan bahwa menjadi pegawai adalah buruk. Melainkan ingin mengatakan bahwa menjadi pengusaha adalah ide yang tidak buruk samasekali.
Tentunya saya berharap ini ada manfaatnya bagi diri saya sendiri (yang sampai saat ini masih berstatus tukang tidur) dan pembaca yang membutuhkannya (bukan untuk mereka yang sudah senior dan mapan), untuk dapat memperkirakan kenyataan apa yang akan dihadapi jika memutuskan untuk mulai merintis usaha (menjadi pengusaha), dan faktor apa saja yang mungkin membuat hal itu tidak terjadi.
Saya menyadari, setiap individu adalah unik—berbeda. Alasan Mark Zuckerberg merintis Facebook pastinya berbeda dengan alasan Bob Sadino memulai usaha jual telor. Juga alasan Mbok Jum membuka warung kopi. Sehingga, sahabat sekalian tidak akan pernah menemukan alasan yang ‘salah’ atau ‘benar’ untuk menjadi seorang pengusaha; yang ada hanya ‘kriteria yang tidak sesuai’ atau ‘kriteria yang sesuai’ untuk membentuk alasan-alasan tersebut.

Alasan Paling Relevan Mengapa Menjadi Pengusaha (Mulai Merintis Usaha)
Saya punya banyak alasan yang cukup untuk membuat para boss kesal—karena dianggap manas-manasin pegawai mereka. Tetapi di sini saya akan tuliskan alasan-alasan yang paling relevan saja, mengapa seseorang memilih untuk menjadi pengusaha dan mulai merintis usaha:

1. Kepuasan Bathin Atas Pembuatan produk/jasa – Pernah membuat kapal-kapalan kertas untuk anak atau keponakan, dan anak/keponakan begitu senang memainkannya? Atau membetulkan setrika yang tidak mau panas, lalu mendapat ucapan terimakasih yang tulus dari istri/pacar tercinta? Hal seperti itulah yang dirasakan oleh para pengusaha atas produk atau jasa yang dijual, dari waktu-ke-waktu. Ada rasa puas sekaligus bangga. Seorang konsultan juga akan merasa puas sekaligus bangga setelah berhasil mengatasi masalah tatakelola  keuangan para kliennya.

2. Kepuasan Atas Penciptaan Budaya Kerja – Waktu menjadi pegawai (terlebih-lebih staf), seringkali 
menggerutu atas kondisi kantor, sistim kerja, sistim gaji, dan lain sebagainya. Begitu anda mulai menjalankan usaha sendiri, semua itu akan ada di tangan anda. Andalah yang akan menentukannya.

3. Sisi Kemapanan Finansial – Coba lihat Aburizal Bakrie, Bob Sadino, atau Charles Schwab, Oprah Winfrey, dan Steve Jobs. Mereka adalah para millioner kaya yang dulunya memulai segala sesuatunya dari usaha kecil. Menurut hitung-hitungan Robert T Kyosaki dan para peneiliti, peluang untuk menjadi kaya dan mengalami kebebasan finansial lebih besar bagi mereka yang menjalankan usaha dibandingkan yang memilih menjadi pegawai.

4. Fleksibelitas – Mungkin anda ingin lebih banyak menggunakan waktu di malam hari untuk bekerja karena istri atau pasangan anda bekerja di malam hari. Atau karena anda ingin lebih banyak menghabiskan siang hari untuk menemani anak-anak tercinta. Mungkin anda memilih untuk menikmati 3 hari setiap akhir pekan dibandingkan mengambil cuti 2 minggu berturut-turut di akhir tahun. Semua itu hanya mungkin diperoleh jika anda menjalankan usaha. Sebagai pemilik usaha, andalah yang paling tahu kapan waktu yang paling pas dan efektif bagi anda, sekaligus menyesuaikan waktu berbisnis dengan waktu untuk mengurus kepentingan pribadi.
Dari empat alasan di atas saja, rasanya sudah lebih dari cukup untuk memilih menjadi pengusaha dibandingkan menjadi pegawai, bukan? Tapi coba pertimbangkan alasan-alasan berikut ini.

Alasan Paling Relevan Mengapa Sebaiknya Tetap Jadi Pegawai
Dalam rangka mengungkap alasan mengapa kebanyakan orang [termasuk orang-orang cerdas ber IQ tinggi] masih memilih untuk menerima gaji bulanan dibandingkan menikmati pendapatan yang potensinya tidak terbatas sebagai pengusaha, saya juga akan ungkap yang paling relevan saja:

1. Tanggung Jawab Yang Besar – Sebagai pemilik usaha, bukan saja diri sendiri dan keluarga yang bergantung pada kepiawaian anda menjalankan usaha, tetapi juga teman kongsi (partner usaha), pegawai yang dipekerjakan beserta kelaurganya, pelanggan, bahkan para pemasok. Mempertimbangkan hal itu, bahkan saya sendiri yang sudah berhenti jadi pegawaipun sering kali rindu terhadap jam 5 sore, saat-saat menyetor jempol di mesin absensi, lalu pulang. Sungguh-sungguh momen yang saya rindukan—dimana segala urusan selesai di sore itu—tanpa perlu saya bawa hingga ke dalam mimpi.

2. Beratnya Persaingan – Walaupun mungkin sebagian besar pegawai (staff hingga manajer) suka tantangan dan kompetisi, persaingan di dunia usaha sungguh berbeda. Hal terburuk yang mungkin ditanggung sebagai hasil persaingan antar pegawai atau eksekutif adalah dipecat, dan kehilangan gaji bulanan hingga menemukan pekerjaan baru. Sedangkan hal terburuk dari persaingan usaha bisa menjadi bangkrut, sungguh-sungguh bangkrut hingga berhutang. Jenis persaingannyapun sangat berbeda. Persaingan antar pegawai semuanya nyaris bisa terlihat karena berada di lokasi yang sama. Sedangkan persaingan di dunia usaha jarang kasat mata, lebih banyak membaca indikasi-indikasi dan gerakan-gerakan pesaing yang sudah pasti berada di lokasi, kota, negara bahkan di benua berbeda.

3. Perubahan (Instabilitas) – Komoditi usaha datang-dan-pergi, selalu berubah dari waktu-ke-waktu. Tidak ada yang statis di dunia usaha. Kondisi keamanan, perubahan aturan pemerintah, bahkan perubahan upah minimum pekerja-pun menjadi minyak pelumas yang membuat naik-turunnya roller-coaster mengendalikan usaha menjadi semakin kencang, bahkan licin. Terlebih-lebih sekarang ini, semua perubahan itu kian tidak menentu dan sulit ditebak. Bagi siapapun yang tidak biasa menghadapi tantangan perubahan, memang sebaiknya tetap menjadi pegawai.

4. Kesulitan  Tertentu – Peliknya birokrasi perijinan dan aspek legalitas lainnya, rumitnya hitung-hitungan pajak, bea masuk, asuransi, dan masih banyak tektek-bengek yang harus dipikirkan untuk menjalankan usaha. Menjadi sumber kepusingan tersendiri. Kecuali mereka yang terbiasa dengan pusingnya menghadapi tektek-bengek semacam itu, tetap menjadi pegawai adalah pilihan yang lebih bijak.

5. Ancaman Kegagalan Usaha – Jika daftar musuh bebuyutan para pengusaha di atas tidak cukup panjang, maka ancaman ini adalah yang terbesar dan paling menakutkan bagi siapa saja yang menjalankan usaha, yaitu: BANGKRUT.  Jika sungguh terjadi, maka ini adalah kengerian sekaligus rasa sakit yang tak terperikan. Bayangkan, saat para kreditur (bank, pemasok, bahkan pegawai) mengangkuti aset usaha yang anda rintis bertahun-tahun satu-per-satu, sementara anda tidak bisa mencegahnya—karena mereka memang berhak untuk melakukan itu. Bandingkan kegagalan itu dengan kegagalan seorang manajer yang dikeluarkan dari perusahaan multi-nasional—menerima check gemuk (pesangon plus tunjangan-tunjangan). Samasekali tidak ada aset yang perlu dikorbankan. Seperti sudah saya sebutkan, inilah alasan terbesar yang membuat tidak banyak orang mau menjadi pengusaha, dan lebih memilih untuk tetap menjadai pegawai.
Sepanjang yang saya tahu, para pengusaha (terutama mereka yang terus bertahan menjadi pengusaha) adalah orang-orang yang berjiwa optimis. Bagi mereka, apa yang sebagian besar pegawai sebut sebagai ancaman/risiko adalah tantangan yang sungguh mengasikan untuk ditaklukan. Segala beban dan pusing yang timbul akibat mengurus usaha adalah stimulus yang terus merangsang otak mereka menjadi semakin kreatif dan inovatif. Bahkan, kegagalan-demi-kegagalan mereka anggap sebagai pecut untuk membuat mereka semakin kuat sekaligus semakin pintar.
 
Tentu saja, bermain aman bukanlah pilihan yang buruk. Nah, mungkin diantara pembaca ada yang bilang, “Saya sungguh ingin mulai merintis usaha? Adakah cara untuk meminimalisasi risiko-risiko itu? Mungkinkah saya berjalan diantaranya?”.

sumber : http://ekonomi.kompasiana.com
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

About Me

Total Tayangan Halaman

Pengikut

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. yhasin sOnt_all berbagi - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template