Pilihan yang sulit bagi saya.....
Banyak motivator ‘specialis
wira-usaha’ yang begitu pintar mengemas seminar, sehingga dipercaya oleh
sebagian besar kaum muda (termasuk saya dahulu) bahwa, pegawai akan
lebih sukses jika menjalankan usaha sendiri. Menjadi pengusaha.
Faktanya? Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Usaha kecil bukan
satu-satunya jalan, bahkan jika tidak melalui pertimbangan yang matang,
bisa jadi lubang kuburan.
Tentu saja, alasan menunda untuk menjadi
pengusaha bukan semata-mata karena ingin lebih banyak meluangkan waktu
untuk nongkrong-nongkrong di basecamp, atau karena kucing kesayangan di
rumah tidak ada yang merawat. Melainkan banyak hal lebih serius yang
perlu dipertimbangkan—mulai dari kondisi keuangan, kemampuan
menghasilkan barang/jasa yang mampu bersaing di pasar, hingga
kesanggupan untuk menjalankan segala aktifitas usaha sendiri di
awal-awal.
Bagaimanapun juga, setiap orang dengan
mudah bisa menemukan banyak alasan untuk tidak menjadi pengusaha (mulai
merintis usaha), semudah para motivator mencari alasan mengapa lebih
baik melakukannya. Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk menggurui
siapapun. Pertama, kita semua masih belajar. Kedua, saya lebih suka
berbagi daripada mengajar. Juga tidak bermaksud mengatakan bahwa menjadi
pegawai adalah buruk. Melainkan ingin mengatakan bahwa menjadi
pengusaha adalah ide yang tidak buruk samasekali.
Tentunya saya berharap ini ada
manfaatnya bagi diri saya sendiri (yang sampai saat ini masih berstatus
tukang tidur) dan pembaca yang membutuhkannya (bukan untuk mereka yang
sudah senior dan mapan), untuk dapat memperkirakan kenyataan apa yang
akan dihadapi jika memutuskan untuk mulai merintis usaha (menjadi
pengusaha), dan faktor apa saja yang mungkin membuat hal itu tidak
terjadi.
Saya menyadari, setiap individu adalah
unik—berbeda. Alasan Mark Zuckerberg merintis Facebook pastinya berbeda
dengan alasan Bob Sadino memulai usaha jual telor. Juga alasan Mbok Jum
membuka warung kopi. Sehingga, sahabat sekalian tidak akan pernah
menemukan alasan yang ‘salah’ atau ‘benar’ untuk menjadi seorang
pengusaha; yang ada hanya ‘kriteria yang tidak sesuai’ atau ‘kriteria
yang sesuai’ untuk membentuk alasan-alasan tersebut.
Alasan Paling Relevan Mengapa Menjadi Pengusaha (Mulai Merintis Usaha)
Saya punya banyak alasan yang cukup
untuk membuat para boss kesal—karena dianggap manas-manasin pegawai
mereka. Tetapi di sini saya akan tuliskan alasan-alasan yang paling
relevan saja, mengapa seseorang memilih untuk menjadi pengusaha dan
mulai merintis usaha:
1. Kepuasan Bathin Atas Pembuatan produk/jasa
– Pernah membuat kapal-kapalan kertas untuk anak atau keponakan, dan
anak/keponakan begitu senang memainkannya? Atau membetulkan setrika yang
tidak mau panas, lalu mendapat ucapan terimakasih yang tulus dari
istri/pacar tercinta? Hal seperti itulah yang dirasakan oleh para
pengusaha atas produk atau jasa yang dijual, dari waktu-ke-waktu. Ada
rasa puas sekaligus bangga. Seorang konsultan juga akan merasa puas
sekaligus bangga setelah berhasil mengatasi masalah tatakelola keuangan
para kliennya.
2. Kepuasan Atas Penciptaan Budaya Kerja
– Waktu menjadi pegawai (terlebih-lebih staf), seringkali
menggerutu
atas kondisi kantor, sistim kerja, sistim gaji, dan lain sebagainya.
Begitu anda mulai menjalankan usaha sendiri, semua itu akan ada di
tangan anda. Andalah yang akan menentukannya.
3. Sisi Kemapanan Finansial
– Coba lihat Aburizal Bakrie, Bob Sadino, atau Charles Schwab, Oprah
Winfrey, dan Steve Jobs. Mereka adalah para millioner kaya yang dulunya
memulai segala sesuatunya dari usaha kecil. Menurut hitung-hitungan
Robert T Kyosaki dan para peneiliti, peluang untuk menjadi kaya dan
mengalami kebebasan finansial lebih besar bagi mereka yang menjalankan
usaha dibandingkan yang memilih menjadi pegawai.
4. Fleksibelitas
– Mungkin anda ingin lebih banyak menggunakan waktu di malam hari untuk
bekerja karena istri atau pasangan anda bekerja di malam hari. Atau
karena anda ingin lebih banyak menghabiskan siang hari untuk menemani
anak-anak tercinta. Mungkin anda memilih untuk menikmati 3 hari setiap
akhir pekan dibandingkan mengambil cuti 2 minggu berturut-turut di akhir
tahun. Semua itu hanya mungkin diperoleh jika anda menjalankan usaha.
Sebagai pemilik usaha, andalah yang paling tahu kapan waktu yang paling
pas dan efektif bagi anda, sekaligus menyesuaikan waktu berbisnis dengan
waktu untuk mengurus kepentingan pribadi.
Dari empat alasan di atas saja, rasanya
sudah lebih dari cukup untuk memilih menjadi pengusaha dibandingkan
menjadi pegawai, bukan? Tapi coba pertimbangkan alasan-alasan berikut
ini.
Alasan Paling Relevan Mengapa Sebaiknya Tetap Jadi Pegawai
Dalam rangka mengungkap alasan mengapa
kebanyakan orang [termasuk orang-orang cerdas ber IQ tinggi] masih
memilih untuk menerima gaji bulanan dibandingkan menikmati pendapatan
yang potensinya tidak terbatas sebagai pengusaha, saya juga akan ungkap
yang paling relevan saja:
1. Tanggung Jawab Yang Besar
– Sebagai pemilik usaha, bukan saja diri sendiri dan keluarga yang
bergantung pada kepiawaian anda menjalankan usaha, tetapi juga teman
kongsi (partner usaha), pegawai yang dipekerjakan beserta kelaurganya,
pelanggan, bahkan para pemasok. Mempertimbangkan hal itu, bahkan saya
sendiri yang sudah berhenti jadi pegawaipun sering kali rindu terhadap
jam 5 sore, saat-saat menyetor jempol di mesin absensi, lalu pulang.
Sungguh-sungguh momen yang saya rindukan—dimana segala urusan selesai di
sore itu—tanpa perlu saya bawa hingga ke dalam mimpi.
2. Beratnya Persaingan
– Walaupun mungkin sebagian besar pegawai (staff hingga manajer) suka
tantangan dan kompetisi, persaingan di dunia usaha sungguh berbeda. Hal
terburuk yang mungkin ditanggung sebagai hasil persaingan antar pegawai
atau eksekutif adalah dipecat, dan kehilangan gaji bulanan hingga
menemukan pekerjaan baru. Sedangkan hal terburuk dari persaingan usaha
bisa menjadi bangkrut, sungguh-sungguh bangkrut hingga berhutang. Jenis
persaingannyapun sangat berbeda. Persaingan antar pegawai semuanya
nyaris bisa terlihat karena berada di lokasi yang sama. Sedangkan
persaingan di dunia usaha jarang kasat mata, lebih banyak membaca
indikasi-indikasi dan gerakan-gerakan pesaing yang sudah pasti berada di
lokasi, kota, negara bahkan di benua berbeda.
3. Perubahan (Instabilitas)
– Komoditi usaha datang-dan-pergi, selalu berubah dari waktu-ke-waktu.
Tidak ada yang statis di dunia usaha. Kondisi keamanan, perubahan aturan
pemerintah, bahkan perubahan upah minimum pekerja-pun menjadi minyak
pelumas yang membuat naik-turunnya roller-coaster mengendalikan usaha
menjadi semakin kencang, bahkan licin. Terlebih-lebih sekarang ini,
semua perubahan itu kian tidak menentu dan sulit ditebak. Bagi siapapun
yang tidak biasa menghadapi tantangan perubahan, memang sebaiknya tetap
menjadi pegawai.
4. Kesulitan Tertentu
– Peliknya birokrasi perijinan dan aspek legalitas lainnya, rumitnya
hitung-hitungan pajak, bea masuk, asuransi, dan masih banyak
tektek-bengek yang harus dipikirkan untuk menjalankan usaha. Menjadi
sumber kepusingan tersendiri. Kecuali mereka yang terbiasa dengan
pusingnya menghadapi tektek-bengek semacam itu, tetap menjadi pegawai
adalah pilihan yang lebih bijak.
5. Ancaman Kegagalan Usaha
– Jika daftar musuh bebuyutan para pengusaha di atas tidak cukup
panjang, maka ancaman ini adalah yang terbesar dan paling menakutkan
bagi siapa saja yang menjalankan usaha, yaitu: BANGKRUT. Jika sungguh
terjadi, maka ini adalah kengerian sekaligus rasa sakit yang tak
terperikan. Bayangkan, saat para kreditur (bank, pemasok, bahkan
pegawai) mengangkuti aset usaha yang anda rintis bertahun-tahun
satu-per-satu, sementara anda tidak bisa mencegahnya—karena mereka
memang berhak untuk melakukan itu. Bandingkan kegagalan itu dengan
kegagalan seorang manajer yang dikeluarkan dari perusahaan
multi-nasional—menerima check gemuk (pesangon plus tunjangan-tunjangan).
Samasekali tidak ada aset yang perlu dikorbankan. Seperti sudah saya
sebutkan, inilah alasan terbesar yang membuat tidak banyak orang mau
menjadi pengusaha, dan lebih memilih untuk tetap menjadai pegawai.
Sepanjang yang saya tahu, para pengusaha
(terutama mereka yang terus bertahan menjadi pengusaha) adalah
orang-orang yang berjiwa optimis. Bagi mereka, apa yang sebagian besar
pegawai sebut sebagai ancaman/risiko adalah tantangan yang sungguh
mengasikan untuk ditaklukan. Segala beban dan pusing yang timbul akibat
mengurus usaha adalah stimulus yang terus merangsang otak mereka menjadi
semakin kreatif dan inovatif. Bahkan, kegagalan-demi-kegagalan mereka
anggap sebagai pecut untuk membuat mereka semakin kuat sekaligus semakin
pintar.
Tentu saja, bermain aman bukanlah pilihan yang buruk. Nah, mungkin diantara pembaca ada yang bilang, “Saya sungguh ingin mulai merintis usaha? Adakah cara untuk meminimalisasi risiko-risiko itu? Mungkinkah saya berjalan diantaranya?”.
sumber : http://ekonomi.kompasiana.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !